Mencari Ridho Ilahi

CECEP SAEFUL ANWAR SHAFARY ( cep sasdika )

Dampak Mafia Peradilan

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antaramu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah: 188). 


Peringatan Allah ini seharusnya selalu dipikirkan oleh siapa pun yang bersengketa di pengadilan. Sebab, mereka yang memakai suap, tekanan penguasa atau massa, kemampuan bersilat lidah, atau memperalat dalil dan aturan hukum guna memperdaya hakim dan lawan sengketa, akan diazab di akhirat. Nabi Muhammad SAW bersabda: 'Siapa pun yang merampas tanah orang lain secara zalim, walaupun hanya sejengkal, maka Allah akan mengalunginya kelak di hari kiamat dengan tujuh lapis bumi.' (Hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim).

Jika perampasan sejengkal tanah saja disiksa sedemikian pedih, lantas bagaimana dengan yang merampas hak milik ratusan atau ribuan orang, bahkan nyawa mereka, lewat keputusan/penetapan pengadilan? Sayangnya, banyak manusia tidak menjadikan keimanan sebagai pemimpin dan kaidah berpikir. Mereka lebih memilih membeli kenikmatan sesaat dengan menjual kebahagiaan abadi. Selain itu, sistem sekuler-kapitalis yang menuhankan materi, kekuasaan dan kemenangan fisik mendorong banyak orang berkuasa dan berharta untuk melakukan segala cara.

Apalagi, hukum yang ada tidak memberi peluang pengoreksian kesalahan proses peradilan yang disengaja aparat berwenang, kecuali sebatas pemberian sanksi administratif. Maka, kala ulama, tokoh masyarakat dan militer, pers, dan rakyat cenderung mendiamkan atau takut terhadap mafia peradilan, kian beranilah mereka mempraktikkan kezaliman. Kian lama kian luas kerusakan, hingga sesuatu yang tidak masuk akal pun terjadi, seperti menyita aset-aset orang yang dituduh mencemarkan nama baik, memaksa memvonis orang tanpa bukti yang sah dan meyakinkan, mengadili orang miskin karena dituduh mencuri sandal bolong, dan lain-lain.

Dikhawatirkan, hal ini menyeret  makin  banyak orang untuk berlaku serupa hingga akhirnya timbul opini umum bahwa praktik mafia peradilan  adalah  hal biasa, dan  harus  dikerjakan agar menang di pengadilan.  Ini mirip  wabah korupsi.  Ketika  kemungkaran telah  tersebar, apalagi dianggap biasa, maka tibalah janji-Nya menghancurkan  negeri  sehancur-hancurnya (lihat QS Al-Israa, 17:16). Jelaslah,  praktik mafia  peradilan tak cuma  berakibat buruk  bagi pelaku dan korbannya, tapi semua orang, baik di dunia maupun akhirat.



cepsasdika.blogspot.com 

Eksistensi Hukum Islam dalam Hukum Indonesia.
Negara Indonesia memang bukan Negara Islam, sehingga tidak diberlakukan Syari’at Islam atau disebut Khilafah yakni negara yang hukumnya sepenuhnya menjalankan hukum Islam. Walaupun demikian, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, maka hukum Islam akan selalu mempengaruhi setiap penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab dalam menetapkan suatu peraturan perundang-undangan, satu hal yang harus diperhatikan adalah kondisi sosiologis masyarakat setempat. Sebab suatu peraturan Negara tidak boleh bertentangan dengan keyakinan suatu agama, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat 1: “Negara berdasar atas keTuhanan Yang Maha Esa.” Dan Pasal 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Ini berarti dalam setiap penyusunan hukum negara, harus menghormati hukum suatu agama, terutama Islam sebagai kaum mayoritas. Bahkan pada awal perjuangan kemerdekaan, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti harus berdasarkan syari’at Islam tetapi tetap menghormati pemeluk agama lainnya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, akan tetapi kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945 dan kewajiban menjalankan syariat Islam diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Namun tetap saja hukum Islam akan selalu mempengaruhi hukum Indonesia, namun hukum tersebut merupakan hukum yang telah diadopsi menjadi hukum adat.


Sebagai contoh dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan: “Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu.” Dengan kata lain, jika orang tersebut beragama Islam, maka perkawinan harus sesuai dengan Syari’at Islam. Sehingga khusus bagi umat Islam, harus melakukan pernikahan dengan pencatatan oleh KUA (Kantor Urusan Agama). Sedangkan pernikahan agama lain, dicatat pada Kantor Catatan Sipil. Begitu juga apabila orang muslim menikah dengan non-muslim, maka hanya bisa dicatat pada Kantor Catatan Sipil, sebab sebagian besar ulama tidak mengakui adanya pernikahan beda agama. Disini terlihat jelas eksistensi hukum Islam.

Adapun contoh lainnya adalah dalam peraturan ketenagakerjaan, harus memberikan waktu kepada karyawan yang muslim untuk menjalankan sholat lima waktu, hal ini terlihat jelas pada hari Jum’at, maka seluruh karyawan akan diberikan waktu istirahat yang lebih lama dari biasanya sebab Islam mengharuskan umatnya sholat Jum’at secara berjama’ah di Masjid. Bahkan sekolah-sekolah pada umumnya akan lebih awal menghentikan proses belajar mengajar pada hari Jum’at. Disini juga terlihat jelas eksistensi hukum Islam dalam hukum Indonesia.

Namun ke-eksistensi-an hukum Islam tersebut tidak terlihat pada hukum pidana. Pada tindak pidana zina misalnya, hukum Islam memandang zina adalah kejahatan yang berat, bahkan diancam dengan hukuman mati jika pelakunya adalah orang yang terikat perkawinan. Tentu saja hukuman mati tersebut akan dilaksanakan jika semua bukti dan saksi telah dengan pasti menyatakan bahwa perzinahan telah dilakukan tanpa ada keraguan. Namun dalam hukum Indonesia, yakni KUHP yang mengatur tentang hukum pidana, perzinahan bukanlah suatu kejahatan jika dilakukan atas dasar suka sama suka. Negara baru akan bertindak jika ada unsur perkosaan, atau laporan dari suami atau isteri yang telah berzina dengan orang lain. Sebab dalam KUHP tidak ada larangan terhadap zina yang dilakukan atas kerelaan pelaku atau suka sama suka. Hal ini menurut penulis memang perlu dibenahi sebab KUHP kita merupakan warisan KUHP Belanda, yang tidak sesuai dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Mengenai zina ini, saya rasa bukan hanya agama Islam saja yang akan mengkategorikan bahwa zina adalah kejahatan yang harus mendapatkan hukuman, agama lainnya pun yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa pasti mengkategorikan bahwa zina adalah kejahatan yang berbahaya.












www.cepsasdika.blogspot.com







HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL INDONESIA



Akar Historis dan Sosiologis Hukum Islam
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.

Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.

Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.

Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.

Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa kemudian.Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.

Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium Freijer itu yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.

Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.

Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan ituterjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.

Hasil telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.

Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.

Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.

Setelah kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara untuk membangun hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat. Namun kita harus mengakui pembangunan hukum di bidang hukum pidana dan perdata, termasuk hukum ekonomi berjalan sangat lamban. Baru di era Pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan proses pembangunan norma-norma hukum di bidang iniberjalan relatif cepat untuk mendukung pembangunan ekonomi kita.

Keadaan ini berjalan lebih cepat lagi, ketika kita memasuki era Reformasi. Ketika UUD 1945 telah diamandeman, kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan perundang-undangan nasional, apalagi ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi. Namun Wetboek van Sraftrechts atau KUH Pidana masih tetap berlaku. Tetapi berbagai norma hukum baru yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus telah dilahirkan, sejalan dengan pertumbuhan lembaga-lembaga penegakan hukum, dan upaya untuk memberantas berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya memiliki UU Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.
Kebijakan Pembangunan Hukum.

Setelah kita merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam hirarki tertinggiperaturan perundang-undangan kita. Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua undang-undang harus mengacu langsung kepada undang-undang dasar.Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan uji materil terhadap undang-undang dasar. Kalau mahkamah berpendapat bahwa materi pengaturan di dalam undang-undang bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun seluruhnya.

Dilihat dari sudut teori ilmu hukum, undang-undang dasar adalah sumber hukum. Artinya undang-undang dasar itu adalah sumber dalam kita menggali hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif, dalam hal ini undang-undang. Sudah barangtentu undang-undang dasar semata, tidaklah selalu dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam merumuskan norma hukukm positif, mengingat sifat terbatas dari pengaturan di dalam undang-undang dasar itu sendiri. Undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis, yang pada umumnya memuat aturan-aturan dasar dalam penyelenggaran negara, kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk jaminan hak-hak asasi manusia dan hak asasi warganegara. Di samping undang-undang dasar terdapat hukum dasar yang tidak tertulis, yakni berbagai konvensi yang tumbuh dan terpelihara di dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif di bidang hukum tatanegara dan administrasi negara khususnya, bukan hanya hukum dasar yang tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi juga hukum dasar yang tidak tertulis itu.

Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif lainnya, para perumus kaidah-kaidah hukum positif harus pula merujuk pada faktor-faktor filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan kaidah-kaidah hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebab itulah, dalam merumuskan kaidah hukum postif,kita tidak boleh bertindak sembarangan, oleh karena jika kaidah-kaidah yang kita rumuskan itu bertentangan dengan apa yang saya sebutkan ini, maka kaidah hukum yang kita rumuskan itu sukar untuk dilaksanakan di dalam praktik. Unsur-unsur filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, dapat kita simak di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Tentu kita dapat menguraikan dan menafsirkan rumusan-rumusan itu dari sudut filsafat hukum, walau tentu di kalangan para ahli akan terdapat perbedaan-perbedaan penekanan dan pandangan.

Syariat, Fikih dan Qanun
Dari uraian-uraian di atas, timbullan pertanyaan, di manakah letak atau posisi hukum Islam yang saya maksudkan, dalam hukum nasional kita? Sebelum menguraikan lebihlanjut jawaban atas pertanyaan ini, saya harus menguraikan lebih dulu, apakah yang dimaksud dengan “hukum Islam” itu dalam perspektif teoritis ilmu hukum.Kalau kita membicarakan hukum Islam,kita harus membedakannya antara syariat Islam, fikih Islam dan qanun. Mengenai syariat Islam itu sendiri, ada perbedaan pandangan di kalangan para ahli. Ibnu Taymiyyah misalnya berpendapat bahwa keseluruhan ajaran Islam yang dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadith itu adalah syariat Islam. Namun untuk kepentingan studi ilmu hukum pengertian yang sangat luas seperti diberikan Ibnu Taymiyyah itu tidak banyak membantu.

Ada baiknya jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith yang secara ekspilisit mengandung kaidah hukum di dalamnya. Kita juga harus membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai norma-norma fundamental, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sopan santun. Dengan pembatasan seperti ini, maka dengan merujuk kepada pendapat Abdul Wahhab al-Khallaf, maka kaidah-kaidah hukum dalam syariah itu — baik di bidang peribadatan maupun di bidang mu’amalah — tidaklah banyak jumlahnya. Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah tadi, atau sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat itu pada umumnya masih bersifat umum. Dengan demikian, belum dapat dipraktikkan secara langsung, apalagi harus dianggap sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di sebuah negara. Bidang hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum sesungguhnya hanya terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.

Bidang-bidang hukum yang lain seperti hukum ekonomi, pidana, diberikan asas-asasnya saja. Khsus dibidang pidana, ada dirmuskan berbagai delik kejahatan dan jenis-jenis sanksinya, yang dikategorikan sebagai hudud dan ta’zir. Kalau kita menelaah hadith-hadith Rasulullah, secara umum kitapun dapat mengatakan bahwa hadith-hadith hukum jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Dalam sejarah perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith syar’ah telah mengalami pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah yang melahirkan fikih Islam. Saya kira fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan para ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula dikategorikan ke dalam fikih Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma syar’ah telah diangkat menjadi kaidah hukum positif di kekhalifahan, kesultanan atau kerajaan Islam di masa lalu. Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam, yang dikenal dengan istilah Qanun itu.

Pembahasan dalam fikih Islam telah melahirkan karya-karya ilmiah di bidang hukum yang amat luar biasa. Para ahli hukum Islam juga membahas filsafat hukum untuk memahami pesan-pesan tersirat al-Qur’an dan hadith, maupun di dalam merumuskan asas-asas dan tujuan dirumuskannnya suatu kaidah. Fikih Islam telah melahirkan aliran-aliran atau mazhab-mazhab hukum, yang mencerminkan landasan berpikir, perkembangan sosial masyarakat di suatu zaman, dan kondisi politik yang sedang berlaku. Fikih Islam juga mengadopsi adat kebiasaan yang berlaku di suatu daerah. Para fuqaha kadang-kadang juga mengadopsi hukum Romawi. Menelaah fikih Islam dengan seksama akan mengantarkan kita kepada kesimpulan, betapa dinamisnya para ilmuwan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Walau, tentunya ada zaman keemasan, ada pula zaman kemunduran.

Patut kita sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya, dan kemudian membentuk masyarakat poltis pada penghujung abad ke 13, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa telah mengalami kemunduran. Ulama-ulama kita di zaman itu nampaknya belum dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk membahas fikih Islam dalam konetks masyarakat Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih yang ditulis pada umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab fikih di zaman keemasan Islam, dan ketika mazhab-mazhab hukum telah terbentuk. Namun demikian, upaya intelektual merumuskan Qanun tetap berjalan. Di Melaka, misalnya mereka menyusun Qanun Laut Kesultanan Melaka. Isinya menurut hemat saya, sangatlah canggih untuk ukuran zamannya, mengingat Melaka adalah negara yang bertanggungjawab atas keamanan selat yang sangat strategis itu. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun serupa di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara yang lain, seperti di Kesultanan Bima

Keberlakuan Hukum Islam
Dengan uaraian-uraian di atas itu, saya ingin mengatakan bahwa hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu?Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.

Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan undang-undang dasar negara merdeka.

Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.

Setahun yang lalu, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum positif. Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan Agama. Tentu saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan diri kepada hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islamke dalam hukum positif. Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.

Syariat sebagai Sumber Hukum
Suatu hal yang agak “krusial” sehubungan dengan syariat Islamdalam kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud dan ta’zir. Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta’zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.

Sudah barangtentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsip-prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi jika ingin transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukum materil. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lain pembunuhan berencana, pembunuhan salah sasaran,pembunuhan karena kelalaian,pembunuhan sebagai reaksi atas suatu serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk melaksanakannya.

Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam pidana hudud. Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaan masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalis dalam masyarakat Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syar’iat yang tegas. Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk ancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan di dalam praktik. Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi masing-masing, yang tidak akan diuraikan dalam makalah ini.

Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika ada delik pidana adat — seperti orang yang secara terbuka menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain — yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah.

Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan— misalnya pasangan kumpul kebo — bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana penjara.

Dari uraian saya yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itu sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.

Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat – yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum poistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.

Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
Demikianlah uraian saya. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Akhirnya hanya kepada Allah jua, saya mengembalikan segala persoalan.
Wallahu’alam bissawwab.




www.cepsasdika.blogspot.com 

BAB I
PEMBAHASAN
A.Latar Belakang Masalah
Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut undang-undang, seseorang yang memutus suatu perkara secara adil berdasar atas bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri. Dalam melakukan kekuasaan kehakiman hakim dihadapkan dengan berbagai hal yang dapat mempengaruhi putusannya nanti. Dengan demikian jabatan hakim ini menjadi sangat penting karena memutus suatu perkara bukanlah hal mudah. Ia harus sangat berhati-hati menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah sebab yang bersalah kadang-kadang dibenarkan. Sedang yang benar terkadang disalahkan. Seorang hakim menjadi sangat rentan akan berbagai penyimpangan akan berbagai penyimpangan baik yang dilakukan secara sengaja misalnya memutus seseorang yang bersalah kemudian dibenarkan hanya karena memberikan uang kepada hakim tersebut ataupun yang dilakukannya secara tidak sengaja misalnya memutus seseorang yang tidak bersalah karena bukti-bukti yang menunjukan demikian. Segala sesuatunya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Oleh sebab itu jabatan hakim mendapat perhatian khusus, antara lain dalam hukum positif terlihat dengan adanya undang-undang pokok kehakiman yang secara khusus mengatur tata cara peradilan termasuk jabatan hakim. Tak hanya dalam hukum positif dalam hukum Islam pun jabatan hakim mendapat perhatian khusus dengan ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang jabatan hakim ini bahkan jauh sebelum hukum positif mengaturnya.

B.Identifikasi Masalah
Oleh karena mengingat betapa pentingnya jabatan hakim dalam pelaksanaan peradilan maka dalam makalah ini penulis membahas dua masalah antara lain:

1.Bagaimana jabatan hakim menurut perspektif Islam
2.Hal yang diwajibkan dan diharamkan hakim

C.Kerangka Teori
1.     Jabatan Hakim Menurut Perspektif Islam
Dalam Islam orang yang memutus perkara di Pengadilan disebut “qadhi”  (hakim). Namun   terlebih dahulu penulis menguraikan susunan pengadilan menurut Islam, Adapun susunan acara pengadilan terdiri dari:

a.     Ada hakim, berapa banyaknya tergantung pada keadaan dan undang- undang
b.     Ada jaksa (penuntut umum) dan adapula terdakwa, atau yang disebut yang “menuduh” dan yang “tertuduh”, “penggugat” dan yang “digugat”.
c.     Ada keterangan bukti dan saksi, yaitu alat yang dijadikan Pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman atau putusan terhadap perkara yang sedang diselesaikan.
d.     Melakukan sumpah/sumpah mardud, baik yang tertuduh, maupun saksi, boleh disumpah lebih dahulu jika diperlukan.

Pada masa Rasulullah SAW yang menjadi hakim dan jaksa penuntut umum adalah Rasulullah sendiri dan hukum yang hendak dijatuhkan wajib menurut hukum yang diturunkan Allah SWT. Dalam firman-Nya dalam surat An-Nissa 105: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kepada engkau Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan yang sebenarnya, (berisi kebenaran), supaya engkau dapat mengadili antara sesamamu manusia, menurut apa yang dinyatakan Allah kepada engkau” dalam ayat lain Allah berfirman pula: “dan barang siapa yang tidak menghukum dengan hukuman yang diturunkan Allah, maka mereka itu oang-orang yang kafir” oleh sebab itu, seseorang yang telah diangkat menjadi hakim hendahlah sangat sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman kepada manusia yang bersalah. Jika hal itu terjadi, maka seorang hakim telah melakukan kezaliman yang harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT dikemudian hari. Sebab diantara hakim berbeda-beda dalam menjatuhkan hukuman. Ada yang memberikan kebenaran tanpa memperhatikan mana yang salah dan mana yang benar. Dan ada pula yang Sungguh-sungguh mencari kebenaran dalam suatu perkara. Berdasarkan hal itu hakim terdiri atas tiga bagian, sebagimana yang dinyatakan oleh Nabi sebagai berikut:
Sabda Rasullulah SAW.

“Dari Abu Hurairah dari bapaknya r.a dari Nabi SAW bersabda beliau: “hakim itu ada tiga macam di dalam syurga tempatnya, dan yang dua macam itu di dalam neraka. Adapun yang di dalam surga tempatnya ialah hakim yang mengerti akan yang benar. Lalu ia menghukum dengan yang benar itu. Dan hakim yang akan kekuasaan, lalu dilakukannya penindasan dalam menjalankan hukum (karena disuap dan sebagainya), maka dia akan masuk neraka, dan hakim yang menghukum manusia atas kejahilan (ketidaktahuan) maka ia tidak akan masuk neraka”. Dengan demikian dapat disimpulkan menurut Nabi hakim terdiri dari:

a.     Hakim yang mengerti akan kebenaran dan menghukum dengan benar (masuk surga)
b.     Hakim yang mengerti akan kekuasaan namun melakukan penindasan (masuk neraka)
c.     Hakim yang menghukum manusia karena ketidaktahuan (masuk neraka).
           Oleh karena itu jabatan hakim adalah jabatan yang penuh tanggungjawab yang sangat besar.

Sabda Rasulullah SAW: Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW bersabda beliau: “Barang siapa yang dijadikan hakim di antara manusia maka Sungguh ia telah disembelih dengan tidak memakai pisau”. Oleh sebab itu banyak ulama-ulama yang sadar, tidak mau diangkat menjadi hakim jika sekiranya masih ada orang lain yang patut. Misalnya Ibnu Umar takut menjadi hakim ketika diminta oleh Utsman bin Affan, imam Abu Hanifah tidak mau menjadi hakim ketika diminta oleh khalifah Al Mansyur, hingga ia dipenjarakan oleh khalifah Al-Makmun. Namun kiranya perlu ditugaskan bahwa menerima jabatan hakim itu fardhu kifayah hukumnya diantara orang-orang yang patut menjadi hakim.

2.Hal Yang Diwajibkan Dan Diharamkan Hakim
a.     Hakim wajib mencari keadilan dalam mengadili manusia
Di tangan hakimlah terletak lepas dan terikatnya manusia yang berperkara, sengsara atau atau selamatnya mereka, oleh karena itu seorang hakim harus bersungguh-sungguh mencari kebenaran agar dapat menghukum dengan seadil-adilnya. Allah berfirman: “dan bila kamu menghukum antara manusia, supaya kamu menghukum dengan seadil-adilnya. Firman Allah SWT: “Dan ingatlah Daud dan Sulaiman ketika keduanya menghukum perkara tanaman, ketika biri-biri sesuatu kaum telah merusak tanaman itu dan kamilah yang menjadi saksi dalam penghukuman mereka. Lantas kami ajarkanlah hukum itu kepada Sulaiman, dan kepada keduanya kami datangkan Hikmah dan ilmu. Salah satu syarat bagi orang yang diangkat menjadi hakim adalah memiliki kemampuan berijtihad dan bersungguh-sungguh mencari hak dengan berpedoman kepada jitab Allah dan Sunnah Nabinya. Sabda Rosulullah Saw : dari Amru bin Ash, dari Nabi Saw bersabda beliau : apabila seorang hakim menghuku, lalu ia berijtihad, maka betul ijtihadnya itu, maksa baginya tersedia dua pahala. Dan apabila ia sebuah pahala” keterangan lainnya: dari haris bin amru, dari sahabat-sahabat Muaz, bahwa Rasulullah saw tatkala , mengutus Muaz ke Negeri Yaman beliau bertanya kepadanya : bagaimanakah caranya engkau menghukum (mengadili) ? Muaz menjawab : aku menghukum menurut apa yang ada dalam kitab Allah, Rasulullah bertanya pula : jika tidak ada bertemu apa yang ada dalam kitab Allah? Muaz menjawab, lalu dengan Sunnah Rasulullah saw. Rasulullah bertanya pula : jika tidak bertemu dengan Rasulullah dalam Sunnah Rasulullah? Ia menjawab : aku berijtihad (aku berusaha sedapat-dapatnya) menurut pikiranku. Rasulullah menjawab : Alhamdulillah (pujian-pujian bagi Allah) yang telah memberi taufik akan utusan Rasulullah saw. Dengan demikian nyatalah bahwa hukum yang wajib dilakukan terlebih dahulu adalah menurut yang tertulis dalam Al-qur’an. Jika tidak dapat dalam Al-qur’an dicari dalam hadits, jika tidak ditemukan dalam hadits, dicari Ilat atau persamaannya, inilah yang disebut dengan ijtihad. Jika tidak dapat dalam Al-qur’an tetapi mempunyai ikatan atau persamaan dengan perkara lain atau hukumnya ada dalam Al-qur’an dan hadits, maka hukumnya disamakan inilah yang disebut Qiyas yang melakukan hendaklah yang pandai berijtihad menurut syar’i.

b.     Kesopanan dalam menghukum
Hakim adalah jabatan yang tinggi dan mulai. Oleh sebab itu seorang hakim hendaklah berlaku sopan saat mengadili. Sebab di tangan hakimlah terletak keputusan bebas tidaknya seseorang terdakwah/tersangka, atau penggugat dengan tergugat. Oleh sebab itu dalam mengadili suatu perkara hendaklah dijaga: Pertama, memeriksa perkara atau memutuskan hukuman ketika dalam keadaan marah, sebab marah timbul dengan hawa nafsu, biasanya membawa kepada kebinasaan dan kezaliman. Sabda Rasulullah saw : dari Abdurahman bin Abu Bakrah r.a berkata ia : bersabda Rasulullah saw : hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman kedua orang yang berperkara ketika ia sedang keadaan marah. Dan jangan sampai menjatuhkan hukuman dalam keadaan :

1.     sangat lapar dan haus
2.     dalam keinginan birahi (syahwat)
3.     riang atau sedih bersangkutan
4.     sakit (kurang sehat)
5.     datang atau buang air
6.     datang angantuk
7.     sangat panas atau sangat dingin hal ini dikarenakan semua itu dapat mempengaruhi ketenangan pikiran dan dapat pula mengakibatkan ketidak adilan dalam menjatuhkan hukuman.

Kedua, hendaklah menyamakan pertanyaan, tempat duduk dan sebagainya antara dua orang yang berperkara. Dari Abdullah bin Zubair r.a berkata ia : Rasulullah saw telah menjatuhkan hukuman sedang kedua orang yang berselisih itu duduk di hadapan hakim. Ketiga, hendaklah mendengarkan dengan baik keterangan kedua belah pihat secara berganti – ganti. Sabda Rasulullah saw. Dari Ali r.a berkata ia: bersabda Rasulullah saw : apabila semua hukuman bagi orang yang pertama sebelum engkau akan mengetahui cara menghukum mereka. Berkata Ali : senantiasa aku menjadi kadi (menghukum seperti itu) sesudah itu. Digunakan pengadilan itu diadakan ditengah-tengah Negeri atau tengah-tengah daerah pemerintahan. Yaitu di ibu kota, di tempat yang terlihat dan jangan di mesjid, sebab mesjid adalah tempat beribadat.

     c.   Haram hukumnya bagi seorang hakim dalam menerima uang suap
Seorang hakim haram menerima uang suap ataupun hadiah dari pihak-pihat berperkara, sebab hal itu mempengaruhi perkara yang sedang diadili, yang dapat dimenangkan sedangkan yang benar dapat disalahkan. Dari Abu Hurairah r.a berkata ia : telah dikutuki oleh Rasulullah saw akan orang yang memberi suap, atau yang menerimayan dalam perkara huku. Uang suap dapat membatalkan yang hak dan membenarkan yang batil. Dari Muaz bin Jabal r.a berkata ia : telah di utus aku oleh Rasulullah saw kenegeri Yaman, takkala aku telah berangkat diwaktu malam, disuruhnya orang menyusul daku dan disuruhnya aku pulang, maka Rasulullah saw bersabda : janganlah kamu terima sesuatu dengan tidak seizinku, sebab hal yang semacam itu termasuk penipuan dan siapa yang menipu ia akan dihadapkan dengan perbuatannya (penipuan) itu di hari kiamat, karena itulah engkau dipanggil kemari, dan sekarang teruslah engkau berangkat untuk melakukan tugasmu. Menurut pengarang Subulussalam, hasil atau keuntungan yang diperoleh hakim ada empat macam, antara lain :

1.     Uang suap yaitu agar hakim memutuskan hukum dengan jalan yang tidak hak. Hukunya haram bagi kedua pijak, baik yang menerima atau yang memberikannya. Namun untuk menghukum dengan jalan yang tidak hak maka hukumnya bagi hakim namun tidak haram atas orang yang memberi.
2.     Hadiah, apabila diberikan oleh orang yang sebelum ia menjadi hakim maka tidak haram hukumnya, namun apabila diberikan setelah ia menjadi hakim maka haram hukunya.
3.     Upah. Bila hakim menerima upah dari baitul mal atau dari pemerintah maka hukumnya haram. Jika tidak ada gaji, boleh baginya mengambil upah sesuai dengan pekerjaanya.
4.     Rezeki, pensiunan dari jabatannya hakim yang diangkat untuk suatu daerah dalam Negara Islam, dapat pensiunan (berhenti) dari jabatannya karena :
Telah sampai kepadanya kabar tentang pemberhentiannya walaupun orang yang dapat di percaya begitu juga wakilnya.
Dia sendiri yang ingin meninggalkan jabatan itu.
Rusak pikiran, gila, mabuk, pitam dan sebagainya.
Fisik (kafir), yang tidak diketahui sejak ia diangkat atau datangnya sesudah diangkat.

BAB II
KESIMPULAN
Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut undang-undang, seseorang yang memutuskan suatu perkara secara adil berdasarkan bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri.
Seorang hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum, agar tidak keliru dalam memutuskan suatu perkara.
Berdasarkan hukum Islam seorang hakim dapat mengundurkan diri dari persidangan apabila memiliki kepentingan atau terikat dengan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan ketua salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera, hal ini di maksudkan untuk menjaga kemurnian adan independensi peradilan agar seotang hakim memutuskan suatu perkara tidak secara subjektif yang di sebabkan oleh hubungan keluarga dan lain sebagainya sebagaimana tersebut di atas karena dikewatirkan seorang hakim tidak dapat bertindak adil terhadap pihak-pihak yang menjadi keluarganya itu. Jadi hukum melarang seorang hakim untuk menangani perkara yang melibatkan orang-orang terdekatnya untuk menjaga kemandirian putusan yang dikeluarkannya. Dalam pasal 28 ayat 1 undang-undang pokok kehakiman, hakim diwajibkan untuk memperhatikan nilai-nilai hukum pada yang ada pada masyarakat dalam memberikan putusan, hal ini dikarenakan setiap masyarakat dalam memberikan putusan, hal ini dikarenakan masyarakat memiliki Pandangan yang berbeda terhadap sesuatu yang dianggap salah, menyalahi aturan, atau menyimpang. Dalam Islam seseorang yang memutuskan perkara di pengadilan di sebut qadhi (hakim). Pada masa Rasulullah saw masih hidup yang menjadi hakim dan yang menjadi jaksa penuntut umum adalah Rasulullah saw sendiri dan hukum yang hendak dijatuhkan wajib menurut hukum yang diturunkan Allah swt. Menurut Nabi hakim terdiri dari :

Hakim yang mengerti akan kebenaran dan menghukum dengan benar (masuk surga)
Hakim yang mengerti akan kekuasaan namun melakukan penindasan (masuk neraka)
Hakim yang menghukum manusia karena ketidaktahuan (masuk neraka) satu syarat yang diangkat menjadi hakim adalah memiliki kemampuan berijtihad dan bersungguh-sungguh mencari hak dengan berpedoman kepada kitab Allah dan Sunnah Nabinya. Hukum yang wajib dilakukan terlebih dahulu adalah menurut yang tertulis dalam Al-qur’an. Jika tidak terdapat dalam Al-qur’an barulah dari dalam hadits, jika tidak ditemukan dalam hadits, di cari Ilat dan persamaannya, inilah yang disebut dengan ijtihad. Jika tidak terdapat dalam Al-qur’an tetapi mempunyai ikatan atau persamaan dengan perkara lain yang hukumnya ada dalam Al-Qur'an dan hadits, maka hukumnya disamakan inilah yang disebut dengan qiyas yang melakukan hendaklah yang pandai berijtihad menurut syar’i.

cepsasdika.blogspot.com 

Powered By Blogger

BARCELONA

BARCELONA
SENJA DI BARCELONA

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, jawa barat, Indonesia
Ketika aku lahir, aku menangis dan yang lain tersenyum, mungkin karena aku berarti, Aku ingin, ketika aku mati nanti aku sendiri yang tersenyum, dan yang lain menangis!.