Di mana-mana, di seluruh dunia; keadilan selalu dilambangkan dengan sebuah neraca timbangan yang mempunyai dua lengan sejajar(al-mîzân). Kecuali di Indonesia, yang mengurus masalah kehakiman atau pengadilan selalu mempunyai lambang Neraca Timbangan. Juga kecuali di Indonesia, kementerian yang mengurus masalah hukum selalu disebut Kementerian Keadilan (Ministry of Justice, Wizârah al-'Adl) dan bukan Kementerian Kehakiman. Simbol Neraca Timbangan juga digunakan oleh al-Qur'an untuk melambangkan keadilan. Allah Ta'alaa menyatakan bahwa Ia mengangkat langit (meninggikan) dan meletakkan neraca perimbangan. Manusia sebagai hambanya diminta untuk tidak melanggar neraca timbangan dan menegakkan timbangan berdasarkan keadilan serta tidak mengurangi neraca timbangan tersebut (Q.S. Ar-Rahmân [55] : 7-9).
Langit secara bahasa berarti segala sesuatu yang ada di atas kita dan dalam ayat di atas berarti ruang angkasa. Kata kerja yang digunakan adalah "meninggikan" (rafa'a), dan karena Allah Ta'alaa tidak mempunyai tubuh fisik seperti manusia, maka "meninggikan" yang dimaksud adalah dengan kekuasaan-Nya sehingga berdiri tanpa tiang. Dalam hal ini, langit sebenarnya adalah jagat raya yang mempunyai benda-benda angkasa seperti planet, bulan, matahari, bintang, komet dan lain-lain. Bumi juga merupakan bagian dari alam raya. Dalam al-Qur'an, kata langit sering digandengkan dengan kata bumi, maka bumi di sini adalah untuk penegasan dan bukan sebagai sebuah entitas di luar langit. Semua benda-benda angkasa tersebut ditegakkan berdasarakan neraca timbangan yang benar sehingga tidak mungkin terjadi bentrokan antara yang satu dengan yang lain yang dapat mengacaukan sistem jagat raya secara keseluruhan. Sains modern mengajarkan bahwa seluruh jagat raya dikendalikan oleh sebuah sistem yang tidak berubah-ubah karena adanya tenaga alami tarik menarik antara berbagai benda angkasa. Semua sistem di jagat raya berputar pada orbitnya yang tetap sehingga memungkinkan benda-benda angkasa seperti matahari dan bulan dijadikan ukuran untuk menetapkan waktu berupa hari, siang dan malam, bulan dan tahun (Q.S. Al-Isrâ´ [17] :12).
Al-Qur'an meminta manusia untuk meniru ketepatan perjalanan benda-benda angkasa tersebut dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Inti permintaan itu, bila seorang anak manusia menimbang atau mengukur, hendaklah ia menggunakan alat timbang dan alat ukur yang benar. Perdagangan adalah bagian dari dunia manusia, karena itu Allah mengambil contoh dari dunia ini dalam menegaskan keharusan penggunaan alat ukur yang standard dalam segala bidang.
Ini juga tidak terlepas dari lingkungan orang-orang Quraisy pada saat al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang umumnya berprofesi sebagai pedagang. Tidak mengherankan bila al-Qur'an mengibaratkan pahala dan dosa kehidupan manusia seperti hitungan untung dan rugi dalam perdagangan. Tidak ada pedagang yang menginginkan kerugian dalam usaha dagangnya. Karena itu dalam mencari keuntungan di dunia ini, orang tidak boleh rugi dalam kehidupan yang akan datang di akhirat.
Dalam kehidupan publik, banyak sekali orang-orang yang berada pada posisi menentukan takaran dan timbangan. Pertama sekali adalah para pemegang tiga kekuasaan legislatif, eksekutif dan legislatif dalam negara. Mereka inilah yang menjadi rujukan akhir rakyat dalam bidang-bidang yang menjadi wewenang mereka. Selanjutnya adalah orang-orang yang berhubungan secara khusus dengan kekuasaan kehakiman, seperti hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa memuat aturan-aturan yang menjamin tegaknya keadilan dalam kehidupan inivididu, keluarga dan masyarakat. Bila belum menjadi sumber hukum dalam negara atau belum menjadi perundang-undang negara, maka aturan-aturan ini dapat disebut etika profesi penegak hukum.
Al-Qur'an meminta ummat manusia untuk mengurus harta anak yatim dengan baik, mengukur serta menimbang dengan adil, berkata benar dan memenuhi janji Allah (sumpah, nazar dan lain-lain). Inilah beberapa amanat Allah yang perlu dipegang teguh manusia dalam hidupnya (Q.S. Al-An'âm [6] : 152).
Al-Qur'an meminta untuk tidak mengambil harta orang lain tanpa hak. Misalnya dengan berperkara melalui pengadilan, tetapi berusaha dengan sadar mempermainkan hukum atau menyogok para hakim dan penguasa sehingga harta orang lain menjadi harta sendiri. Perbuatan seperti ini adalah perbuatan dosa (Q.S. Al-Baqarah [2] : 188). Ini menyangkut etika para pencari keadilan dan pengacara secara khusus yang ingin memenangkan perkara di pengadilan. Perkara yang tidak mempunyai alas hukum yang benar tidak dapat dibawa ke pengadilan atau dibela oleh para pengacara.
Al-Qur'an menyatakan supaya menyerahkan amanat kepada orang yang layak menerimanya, dan bila seseorang berada pada posisi memutus perkara atau sengketa di kalangan masyarakat, supaya orang yang bersangkutan memutus berdasarkan keadilan (Q.S. An-Nisâ´[4] :58). Jadi, orang-orang yang tidak amanat atau tidak dapat dipercaya dan orang-orang yang tidak dapat memutus dengan adil tidak layak menjadi penegak hukum dalam masyarakat.
Karena kebenaran tidak mungkin dikalahkan oleh asumsi atau perkiraan, maka putusan hakim yang tidak berdasarkan kebenaran atau hanya berdasarkan asumsi harus dibanding atau dilawan. Inilah yang dilakukan oleh para pengikut Musa as sewaktu menerima vonis mati dari penguasa Mesir kuno karena mereka menolak kembali ke agama Fir'aun setelah menerima agama Musa as berdasarkan bukti-bukti (al-bayyinât). Mereka mengatakan: "Demi Tuhan yang telah menciptakan kami, putuskanlah apa yang anda putuskan, tetapi anda hanya dapat memutus yang berkenaan dengan kehidupan dunia." Mereka meyakini bahwa bila pledoi atau banding mereka ditolak, maka di akhirat nanti akan ada pengadilan Allah Ta'alaa yang lebih adil yang akan berpihak kepada mereka.
Karena itu, keadilan sebenarnya adalah keadilan berdasarkan Kitab dan neraca timbangan yang diturunkan Allah. Tidak ada yang tahu kapan kiamat akan datang, tetapi hari itu pasti datang dan semua orang akan mendapatkan keadilan (Q.S. Asy-Syûrâ [44] : 17).
Ini adalah salah satu etika penegak keadilan, bahwa putusan pengadilan dunia akan dibanding dan dikasasi sekali lagi di pengadilan yang akan datang di depan Tuhan Maha Adil di akhirat. Keyakinan ini akan membuat para penegak hukum untuk berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya. Mereka hanya dapat memutus di pengadilan dunia dan tidak akan berdaya di depan pengadilan Allah Ta'alaa di hari akhirat.
Firman Allah dalam surah al-Hadîd ayat 25 menyebutkan tiga hal yang diturunkan Allah yang mirip dengan tiga hal dalam teori Trias Politika Montesquieu. Pertama, adalah Kitab. Kedua, adalah Neraca Timbangan yang menjamin keadilan. Ketiga, adalah Besi yang mempunyai kekuatan tangguh yang berguna bagi manusia. Abdullah Yusuf Ali, penerjemah dan penafsir al-Qur'an ke bahasa Inggris mengibaratkan besi dalam ayat ini sebagai kekuatan angkatan bersenjata atau alat negara yang dapat memaksakan eksekusi putusan lembaga peradilan. Jadi, Kitab adalah hukum yang diturunkan Allah. Neraca Timbangan adalah proses peradilan yang adil, dan Besi adalah alat negara yang mempunyai kekuatan seperti besi yang menjamin eksekusi putusan peradilan.
cepsasdika.blogspot.com
1 komentar:
KEADILAN di dunia hany adail sebatas lambang.. :D
hanya Allah maha adil satu2nya pemberi keadilan yang seadil adlinya
Nice artikel..terimakasih
salam silaturahmi by Didah admin Wisata Jawa Barat
Posting Komentar